Kamis, 13 Maret 2014

Bola Sepak : AC Milan Turun Kelas


“Liga Champions ada dalam DNA kami” ujar si gundul, Adriano Galliani. Ucapan penuh konfidensi yang kini malah tampak konyol. Di atas lapangan DNA Milan mungkin telah menguap oleh ritme tinggi yang dikembangkan anak asuh Diego Simeone. Kaki-kaki tua dan rapuh punggawa rossoneri seakan tak sanggup mengimbangi skuat Atletico yang enerjik. Dan hasilnya bisa ditebak: Milan dipermak habis Atletico Madrid dengan skor sungguh mencolok, 1-4. Ya, empat gol bersarang di gawang Abbiati yang nampak lelah di bawah mistar. Kekalahan ini menamatkan kiprah Milan di Champions League musim ini.

Entah alasan apalagi yang akan diucapkan petinggi Milan, meski secara gamblang pecinta sepakbola telah mengetahuinya. Keengganan berinvestasi harus dibayar mahal klub Italia tersukses di Eropa ini. Demi menjaga kas klub, Galliani menerapkan strategi murahan: mencaplok pemain gratisan atau pinjaman dari klub lain. Maka bergabunglah nama-nama Adil Rami (dari Valencia), Keisuke Honda (CSKA Moskow), dan Michael Essien (Chelsea). Bahkan Harry Redknapp pun pernah menyatakan keheranannya ketika seorang pemain dari klub terdegradasi Liga Inggris dapat bergabung ke klub besar seperti AC Milan (merujuk pada Adel Taarabt). Sebuah strategi yang menunjukkan betapa linglungnya manajemen transfer Milan.

Di tengah banjirnya pemain-pemain “buangan” di lini tengah, Milan seperti menutup mata dengan kondisi lini belakangnya yang keropos. Memang Adil Rami datang, namun sejujurnya tidak membawa dampak nyata. Daniele Bonera terus terlihat rapuh, Philipe Mexes makin emosional di usia tuanya. Cristian Zapata tampak lumayan tapi jelas belum sekelas Paolo Maldini atau Thiago Silva. Untung saja sang kiper, Christian Abbiati, beberapa kali tampil cemerlang. Namun di usia hampir 36 tahun, Abbiati bukan solusi jangka panjang.

Perekrutan pemain tampaknya tidak melalui pertimbangan matang tentang kebutuhan tim. Kadang timbul pertanyaan: apakah Milan memang membutuhkan tenaga Essien, Taarabt, dan Muntari.  Lini tengah berjajar pemain tenaga kuda semodel Nigel de Jong, Sulley Muntari, dan ditambah lagi Michael Essien. Dari komposisi gelandang, bisa diketahui bagaimana cara bermain rossoneri yang jauh dari kesan elegan. Hancur sudah garis biru yang dicetak sejak era Frank Rijkaard, Demetrio Albertini, hingga Andrea Pirlo. Memang ada Riccardo Montolivo, sialnya dia bermain inkonsisten sepanjang musim ini.

Lini penyerangan Milan pun sudah jelas, mandul. Mario Balotelli tidak bertuah meskipun terus dipercaya Seedorf di pos depan. Jangan-jangan Super Mario termasuk pemain overrated, terlalu dibesarkan media karena polahnya selalu menarik menjadi berita. Bukti di lapangan menunjukkan perbedaan kualitas Balotelli dan Diego Costa (Atletico Madrid) saat pertandingan perdelapan final kemarin. Balotelli cenderung statis dan kurang kreatif. Lihat Diego Costa yang selalu bergerak, fleksibel, dan menjadi monster di depan gawang. Hasilnya Balotelli nol, Costa dua gol. Entah sampai kapan Milan akan percaya dengan Balotelli.

Kondisi ini diperparah oleh penunjukan Clarence Seedorf sebagai pelatih. Sebuah perjudian besar yang tampaknya akan membawa pada kebangkrutan. Tidak ada yang menyangkal Seedorf adalah pemain hebat yang menjadi legenda hidup AC Milan. Namun sebagai pelatih, pengalaman pria Belanda ini masih nol besar. Keberanian tingkat tinggi untuk dapat menerima tanggungjawab melatih AC Milan. Teori yang mungkin benar adalah Milan menghemat uang dengan merekrut Seedorf dibandingkan pelatih “sudah jadi” lainnya. Well, lagi-lagi tentang uang. Galliani tentu berharap keajaiban Pep Guordiola yang masih hijau kala ditunjuk menukangi Barcelona dapat menular ke Seedorf. Apa lacur, Milan sepertinya semakin hancur.  

Pergantian pelatih sepertinya bukan solusi mujarab. Massimiliano Allegri sempat membuat catatan istimewa musim lalu. Setelah start buruk, Allegri membawa Milan tancap gas dan finish di urutan ketiga. Selain itu, Allegri juga mengorbitkan Mattia de Sciglio dan Stephen El Shaarawy.  Jika pelatih diganti lagi, rasa-rasanya sudah sedikit terlambat. Mungkin saatnya Seedorf menghentikan romatisme dengan sisa-sisa kehebatan Kaka, Abbiati, Essien, dan Mexes. Saatnya mencoba komposisi lain dengan amunisi yang sebenarnya cukup menarik dalam diri Honda, Andrea Poli, atau Ricardo Saponara, sambil menunggu musim ini cepat berakhir.

Sah sudah AC Milan yang pernah perkasa untuk turun kasta. Menjadi tim medioker dan sesekali membuat kejutan. Kini Milan tinggal berjuang di Seri A, bukan untuk merebut scudetto, tapi mengisi papan tengah Seri A bersama Genoa, Sampdoria, dan Atalanta. Kasihan .....


Ket: Bahkan Balotelli pun tertawa saat melihat posisi AC Milan di  klasemen sementara Seri A ... (from matthewjpdelaney.wordpress.com)


Sumber pendukung:
                  whoscored.com
                  detik.com

Tidak ada komentar: