“Liga Champions ada dalam DNA kami” ujar si gundul,
Adriano Galliani. Ucapan penuh konfidensi yang kini malah tampak konyol. Di
atas lapangan DNA Milan mungkin telah menguap oleh ritme tinggi yang
dikembangkan anak asuh Diego Simeone. Kaki-kaki tua dan rapuh punggawa rossoneri seakan tak sanggup mengimbangi
skuat Atletico yang enerjik. Dan hasilnya bisa ditebak: Milan dipermak habis Atletico
Madrid dengan skor sungguh mencolok, 1-4. Ya, empat gol bersarang di gawang
Abbiati yang nampak lelah di bawah mistar. Kekalahan ini menamatkan kiprah Milan
di Champions League musim ini.
Entah alasan apalagi yang akan diucapkan petinggi
Milan, meski secara gamblang pecinta sepakbola telah mengetahuinya. Keengganan
berinvestasi harus dibayar mahal klub Italia tersukses di Eropa ini. Demi
menjaga kas klub, Galliani menerapkan strategi murahan: mencaplok pemain
gratisan atau pinjaman dari klub lain. Maka bergabunglah nama-nama Adil Rami
(dari Valencia), Keisuke Honda (CSKA Moskow), dan Michael Essien (Chelsea).
Bahkan Harry Redknapp pun pernah menyatakan keheranannya ketika seorang pemain
dari klub terdegradasi Liga Inggris dapat bergabung ke klub besar seperti AC
Milan (merujuk pada Adel Taarabt). Sebuah strategi yang menunjukkan betapa
linglungnya manajemen transfer Milan.
Di tengah banjirnya pemain-pemain “buangan” di lini
tengah, Milan seperti menutup mata dengan kondisi lini belakangnya yang
keropos. Memang Adil Rami datang, namun sejujurnya tidak membawa dampak nyata.
Daniele Bonera terus terlihat rapuh, Philipe Mexes makin emosional di usia
tuanya. Cristian Zapata tampak lumayan tapi jelas belum sekelas Paolo Maldini
atau Thiago Silva. Untung saja sang kiper, Christian Abbiati, beberapa kali
tampil cemerlang. Namun di usia hampir 36 tahun, Abbiati bukan solusi jangka
panjang.
Perekrutan pemain tampaknya tidak melalui
pertimbangan matang tentang kebutuhan tim. Kadang timbul pertanyaan: apakah
Milan memang membutuhkan tenaga Essien, Taarabt, dan Muntari. Lini tengah berjajar pemain tenaga kuda
semodel Nigel de Jong, Sulley Muntari, dan ditambah lagi Michael Essien. Dari
komposisi gelandang, bisa diketahui bagaimana cara bermain rossoneri yang jauh dari kesan elegan. Hancur sudah garis biru yang
dicetak sejak era Frank Rijkaard, Demetrio Albertini, hingga Andrea Pirlo. Memang
ada Riccardo Montolivo, sialnya dia bermain inkonsisten sepanjang musim ini.
Lini penyerangan Milan pun sudah jelas, mandul.
Mario Balotelli tidak bertuah meskipun terus dipercaya Seedorf di pos depan.
Jangan-jangan Super Mario termasuk pemain overrated,
terlalu dibesarkan media karena polahnya selalu menarik menjadi berita. Bukti
di lapangan menunjukkan perbedaan kualitas Balotelli dan Diego Costa (Atletico Madrid)
saat pertandingan perdelapan final kemarin. Balotelli cenderung statis dan
kurang kreatif. Lihat Diego Costa yang selalu bergerak, fleksibel, dan menjadi
monster di depan gawang. Hasilnya Balotelli nol, Costa dua gol. Entah sampai
kapan Milan akan percaya dengan Balotelli.
Kondisi ini diperparah oleh penunjukan Clarence
Seedorf sebagai pelatih. Sebuah perjudian besar yang tampaknya akan membawa
pada kebangkrutan. Tidak ada yang menyangkal Seedorf adalah pemain hebat yang
menjadi legenda hidup AC Milan. Namun sebagai pelatih, pengalaman pria Belanda ini
masih nol besar. Keberanian tingkat tinggi untuk dapat menerima tanggungjawab
melatih AC Milan. Teori yang mungkin benar adalah Milan menghemat uang dengan
merekrut Seedorf dibandingkan pelatih “sudah jadi” lainnya. Well, lagi-lagi tentang uang. Galliani
tentu berharap keajaiban Pep Guordiola yang masih hijau kala ditunjuk menukangi
Barcelona dapat menular ke Seedorf. Apa lacur, Milan sepertinya semakin hancur.
Pergantian pelatih sepertinya bukan solusi mujarab.
Massimiliano Allegri sempat membuat catatan istimewa musim lalu. Setelah start buruk, Allegri membawa Milan
tancap gas dan finish di urutan
ketiga. Selain itu, Allegri juga mengorbitkan Mattia de Sciglio dan Stephen El
Shaarawy. Jika pelatih diganti lagi,
rasa-rasanya sudah sedikit terlambat. Mungkin saatnya Seedorf menghentikan
romatisme dengan sisa-sisa kehebatan Kaka, Abbiati, Essien, dan Mexes. Saatnya
mencoba komposisi lain dengan amunisi yang sebenarnya cukup menarik dalam diri Honda,
Andrea Poli, atau Ricardo Saponara, sambil menunggu musim ini cepat berakhir.
Sah sudah AC Milan yang pernah perkasa untuk turun
kasta. Menjadi tim medioker dan sesekali membuat kejutan. Kini Milan tinggal
berjuang di Seri A, bukan untuk merebut scudetto,
tapi mengisi papan tengah Seri A bersama Genoa, Sampdoria, dan Atalanta.
Kasihan .....
Ket: Bahkan Balotelli pun tertawa saat melihat posisi AC Milan di klasemen sementara Seri A ... (from matthewjpdelaney.wordpress.com) |
Sumber pendukung:
whoscored.com
detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar